Makalah Dimensi Sabda Dan Perbuatan Rosul


                                DIMENSI PSIKIS SABDA DAN PERBUATAN RASUL

        Pendahuluan
Dalam tradisi ilmu hadis, untuk menentukan kualitas sebuah hadis diperlukan serangkaian penelitian, baik menggunakan metode atau kaidah yang digunakan untuk menentukan kualitas sanad maupun metode untuk menentukan kualitas matan. Hal ini dilakukan karena kualitas keduanya tidak selalu sejalan. Tidak berhenti disitu, jika dilihat secara seksama akan terlihat bahwa ungkapan, perilaku dan ketetapan Nabi saw, selain bersifat lokal dan temporal juga bersifat universal. Pemahaman terhadap berbagai peristiwa disekeliling beliau tersebut jika dihubungkan dengan latar belakang terjadinya maka ada yang harus diterapkan secara tekstual dan ada yang harus ditetapkan secara kontekstual pada masa sekarang.
Dalam pada itu, adalah sebuah keniscayaan bahwa memahami sebuah hadis tidak cukup hanya melihat teks hadis namun juga perlu memperhatikan konteksnya karena tidak jarang ada hadis yang secara tekstual nampak bertentangan (mukhtalif) atau sulit dipahami (gharib). Nah ketika hadis itu memiliki asbab wurud, setidaknya dapat diraba kepada siapa hadis itu disampaikan dan dalam kondisi sosio-kultural yang bagaimana Nabi menyampaikannya. Hal itu perlu dikaji untuk menangkap pesan moral di dalamnya. Tanpa memperhatikan konteks historisitas tersebut, terkadang akan ditemui kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu hadis, bahkan dapat membawa ke dalam pemahaman yang barangkali kurang sesuai.

 Pembahasan
Tema yang  akan dijelaskan pemakalah adalah bagaimana memahami hadits melalui pendekatan psikologi. Yang dimaksud dengan pendekatan psikologi dalam pemahaman hadits adalah memahami hadits memperhatikan kondisi psikologis Nabi Muhammad saw  dan masyarakat yang dihadapi Nabi ketika hadits tersebut disabdakan.  Sebelum masuk kepermasalah tersebut kita harus mengetahui fungsi hadits itu sendiri.  Kedudukan Nabi sebagai penjelas al-Qur’an sangat logis, karena Nabi Muhammad tidak seperti “pak pos” yang hanya mementingkan sampainya surat tersebut.
Samapainya hadits Nabi Saw kepada kita, ada yang memiliki sebab khusus dan ada yang datang tanpa sebab khusus. Sebab-sebab, peristiwa, kondisi atau pernyataan yang melatarbelakangi Nabi Saw menyampaikan  sabdanya kepada para sahabat. Hal itu sangatlah penting diketahui, untuk mencari relevansi antara bunyi teks hadits dengan konteksnya masa lalu.[1]
Sebelumnya ketika seseorang ingin mengetahui maksud atau pesan moral dari suatu hadits, maka memperhatikan konteks kepada siapa hadits tersebut disampaikan Nabi Saw,dalam kondisi sosio-kultural yang meliputinya. Tanpa memperhatikan konteks tersebuk, seseorang akan kesulitan ketika memahami maksud suatau hadits, bahkan ia dapat terpelosok ke dalam pemahaman yang keliru. Maka sagatlah penting mengetahui Asbabul Wurud dalam memahami hadits, sebagaimana pentingnya Asbabul Nuzul dalam memahami al-Qur’an.
Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul yang di utus oleh Allah pada umat untuk menjadi pelipur lara dan petunjuk. Sehingga masyarakat yang telah mempercayai kerasulannya mencari solusi dalam permasalahannya kepada Nabi Muhammad, ucapan, perilaku, dan ketetapan rasul dijadikan pedoman dalam kehidupan karena segala bentuk perilaku yang dilakukan oleh rasulullah telah dijamin kewahyuannya yang telah disabdakan dalam ayat al-Quran yang berbunyi


وما ينطق عن الهوى ان هو الا وحي يوحى
 Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. (An-Najm)
Dari ayat atas dapat disimpulkan bahwa setiap perilaku yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad adalah wahyu yang mana kebenarannya dapat dipastikan keshahihannya. Maka ada Empat hal yang melatar belakangi kemunculan hadits sebagai berikut:
1.      Al-bu’du al-Mukhatibi
Yakni faktor yang dari pribadi Nabi SAW sebagai pembicara. Misalnya, hadits tentang berbekam pada saat beliau sedang ihram, ternyata hal itu dilakukan karena beliau sedang sakit kepala . yang membekam nabi waktu itu adalah Abu Thaibah dan bagian yang dibekam adalah kepala. Demikian kurang lebih penjelasan Ibn Hajr al-Asqalani dalam Fath al-Bari dengan mengutip pendapat Abu Hatim al-Razi.[2] Hadits tentang shalat menggunakan tongkat, karena beliau uzur. Demikian pula hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang sujud sahwi, ternyata karena beliau lupa tidak melakukan tasyahud awwal ketika shalat Zhuhur bersama para sahabat,[3] dan masih banyak contoh lain.
2.      Al-bu’du al-Mukhathabi
Yakni faktor yang berkaitan dengan kondisi orang yang diajak berbicara oleh Nabi SAW. Hal ini mempengaruhi gaya penuturan hadits. Terhadap seseorang yang suka menunda-nunda waktu shalat, beliau mengatakan: “sebaik-baik amal adalah shalat tepat pada waktunya “. Sementara kepada orang yang kurang berbakti kepada ibu bapaknya , Beliau mengatakan: “ sebaik-baik amal adalah berbakti kepada kedua orang tua”.
Pertanyaan yang satu dan hampir sama semua, namun Nabi memberikan jawaban yang berbeda-beda. Apakah ini menunjukkan bahwa Nabi SAW tidak konsisten? Sama sekali tidak bahkan justru kita bisa mengambilnya sebagai pelajaran, diantaranya:[4]
a.       Ini membuktikan bahwa Nabi SAW sangat bijaksana, Nabi SAW bersabda dan berbuat didasari pertimbangan kondisi psikologis dan sosiologis terhadap umat atau masyarakat yang dihadapi.
Pada contoh di atas Nabi SAW. menjawab: Shalat tepat pada waktunya, berbuat baik pada orang tua. Ini boleh jadi, karena yang bertanya atau orang yang ada di sekitarnya adalah orang yang kurang memperhatikan waktu shalat. Ia selalu shalat ketika waktunya sudah hampir habis. Begitu juga kurang memperhatikan kedua orang tuanya.
b.      Salah satu metode atau cara dalam memahami hadis Nabi SAW. adalah pendekatan sosiologis, artinya dalam melihat teks sebuah hadis kita tidak boleh hanya memahaminya semata-mata berdasarkan pada teks tulisannya saja, akan tetapi perlu memperhatikan situasi dan kondisi pada saat hadis itu diucapkan serta apa tujuan diucapkannya, sebagaimana hadis-hadis tersebut di atas.
c.       Ajaran Islam sangat luas cakupannya dan bersifat universal. Islam ini tidak hanya mengajarkan doktrin tentang bagaimana beriman, akan tetapi Islam ini harus dibuktikan dengan aktualisasi nyata dalam kehidupan riil berupa memberi makan, menciptakan suasana kondusif yang membuat orang lain aman dan selamat karena tidak saling menganggu antara satu dengan lainnya.
d.      Islam sangat menghargai keragaman (pluralitas) dan perbedaan dalam mengamalkan ajaran Islam. Seorang guru dalam berIslam, silakan mengajarkan ilmunya. Seorang pedagang dalam berislam, silakan berdagang dengan baik dan benar. Seorang petani dalam berislam, silakan bekerja dengan tekun.
e.      Ajaran Islam ini, tidak saja pada keimanan dan ibadah seperti shalat tepat pada waktunya, akan tetapi juga mengatur bagaimana berakhlak dan berhubungan dengan sesama dalam kehidupan sosial kemanusiaan. Misalnya berakhlak kepada kedua orang tua dengan berbuat baik kepada keduanya, dan tidak mengganggu orang lain dengan cara menahan amarah, menjaga lidah untuk selalu berkata-kata secara sopan dan santun, serta menjaga tangan untuk tidak mengambil hak yang bukan miliknya.
f.         Ajaran Islam tidak memberatkan, tapi justru meringankan dan menyenangkan. Islam mengajarkan supaya melakukan aktivitas keagamaan ini jangan memaksakan diri, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kesempatan dengan catatan tetap berkesinambungan walaupun sedikit.
g.       Islam mengajarkan supaya ada pendirian yang tegas dan konsisten terhadap ajaran Islam.
h.      Islam mengajarkan supaya mampu mengendalikan diri, tidak marah seenaknya tanpa perhitungan. Pemarah berarti marah bukan pada waktu dan tempatnya. Marah secara baik dan benar, yakni karena ada pelanggaran terhadap ajaran prinsip dalam beragama. Seperti ketika ada yang merusak agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta.
3.      Al-bu’du al-Zamani
Yakni aspek yang berkaitan dengan waktu atau masa dimana Nabi menyampaikan sabdanya. Sebagai contoh hadits tentang larangan ziarah kubur. Ternyata, karena waktu itu banyak orang berziarah kubur bukan untuk mengingat mati atau akhirat, melainkan berbuat kemusyrikan dan meratapi mayat yang sudah meninggal dunia. Kemudian Nabi SAW memerintahkan ziarah kubur karena bisa mengingatkan seseorang akan akhirat, sehingtga hadits larangan ziarah kubur sudah di naskh (dihapus), kemudian Nabi justru memerintahkannya. Dari hadits tersebut Imam al-Nawawi berpendapat ziarah kubur sunnah hukumnya, sebab bisa mengingatkan seseorang akan adanya akhirat.[5]

4.      Al-bu’du al-Makani
Yakni aspek yang berkaitan dengan tempat atau kondisi geografis dimana menyampaikan hadits. Ini sangat penting diketahui untuk memahami maksud suatu hadits. Sebagai contoh adalah hadits tentang tidak ada hijrah sesudah fathu makkah (pembukaan kota makkah).
Ada sebagian orang yang salah paham mengenai hadits tersebut, bahwa setelah pembukaan kota mekkah tidak ada lagi hijrah dari satu tempat ke tempat lain. sehingga ia berpendapat sekarang tidak ada tuntutan hijrah. Padahal Nabi SAW bersabda “ tidak ada hijrah sesudah Fathu Makkah”. Karena mekkah telah berubah menjadi daerah yang islami, sesudah tadinya menjadi daerah jahili atau kufr. Sehinnga sebenarnya tuntutan hijrah atau berpindah dari suatu daerah ke daerah lain, tetap berlaku. Bagi orang yang tempat tinggalnya masih kafir atau jahili, dimana  para penganut Islam ditindas di sana, maka perintah hijrah tetap berlaku. Itulah sebabnya Aisyah ketika ditanya tentang hijrah, beliau menjawab: “ Tiada hijrah hari ini, dului orang-orang mukmin melarikan diri dengan membawa agamanya kepada Allah dan Rasulullah, karena takut difitnah. Sekarang Allah telah memenangkan Islam. Hari ini seorang muslim dapat menyembah Tuhannya dimana Ia mau.
Dengan demikian, ucapan Nabi SAW tersebut atas dasar kemenangan Islam di kota Makkah. Ini memberi isyarat bahwa perintah hijrah karena kaum muslimin difitnah, sehingga tidak bisa melaksanakan agamanya secara leluasa. Maka bagi kaum muslimin di daerah yang masih tertindas, tidak bisa melaksanakan agama dengan bebas, maka hadits tersebut tidak berlaku baginya. Artinya. Ia tetap perlu hijrah menuju daerah yang mampu menjamin keamanan dan kebebasan menjalankan ajaran agamanya. Demikian kurang lebih penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam fath al-Bari Syarh Matn Shahih al-Bukhari.[6]
   
                     Simpulan
Ada Empat hal yang melatar belakangi kemunculan hadits sebagai berikut:
1.      Al-bu’du al-mukhatibi
Yakni faktor yang dari pribadi Nabi SAW sebagai pembicara. Misalnya, hadits tentang berbekam pada saat beliau sedang ihram, ternyata hal itu dilakukan karena beliau sedang sakit kepala.
2.      Al-bu’du al-mukhathabi
Yakni faktor yang berkaitan dengan kondisi orang yang diajak berbicara oleh Nabi SAW. Hal ini mempengaruhi gaya penuturan hadits.
3.      Al-bu’du al-zamani
Yakni aspek yang berkaitan dengan waktu atau masa dimana Nabi menyampaikan sabdanya. Sebagai contoh hadits tentang larangan ziarah kubur.
4.      Al-bu’du al-makani
Yakni aspek yang berkaitan dengan tempat atau kondisi geografis dimana menyampaikan hadits. Ini sangat penting diketahui untuk memahami maksud suatu hadits. Sebagai contoh adalah hadits tentang tidak ada hijrah sesudah fathu makkah (pembukaan kota makkah).

    Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya buat, saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat saya harapkan demi untuk memperbaiki makalah-makalah saya yang selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin…


REFERENSI
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh li Matn Shahih al-Bukhari dalam CD al-Maktabah al-Syamilah, Edisi 2.11 
Alwi Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman al-Mauri, Ibanah al-Ahkam: Syarh Bulugh al-Maram, juz 1, Syarikah Syarli, Mesir, tth
Abdul mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi: Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadits, Idea Press, Yogyakarta, 2008
Ma’mun Mu’min, Psikologi Tafsir Hadits, STAIN Kudus, Kudus, 2009





[1] Ma’mun Mu’min, Psikologi Tafsir Hadits, STAIN Kudus, Kudus, 2009, Hal.64

[2]  Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh li Matn Shahih al-Bukhari dalam CD al-Maktabah al-Syamilah, Edisi 2.11  
[3] Alwi Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman al-Mauri, Ibanah al-Ahkam: Syarh Bulugh al-Maram, juz 1, Syarikah Syarli, Mesir, tth, hal. 466
[4] Abdul mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi: Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadits, Idea Press, Yogyakarta, 2008, hal. 31-32
[5] Op.Cit
[6] Ibid, hal. 33

Related Posts:

0 Response to "Makalah Dimensi Sabda Dan Perbuatan Rosul"

Posting Komentar