Hadis Mukhtalif
Pendahuluan
Hadis adalah sumber hukum kedua bagi umat Islam. Kedudukannya merupakan
penjelas bagi al-Quran. Umat Islam tidak bisa menerapkan ajaran dari al-Quran
tanpa petunjuk secara rinci dari hadis. Berbagai ibadah utama dalam Islam perintahnya
ada dalam al-Quran, seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Perintah itu
berbentuk umum, sementara hadis datang dengan rincian yang jelas. Hadis sangat
diperlukan untuk dapat mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Ibadah shalat
lima waktu perintahnya dalam al-Qur’an, teknis pelaksanaanya hadis yang
menjelaskan. Pengamalan perintah al-Quran tidak bisa terlepas dari hadis.
Hadis Nabi Muhammad yang sampai pada kita hari ini banyak jumlahnya. Tidak
semuanya hadis Nabi itu dapat kita terima secara mutlak. Hal ini disebabkan
hadis Nabi tersebut masih terbagi ke dalam berbagai bentuk hadis; seperti
hadits mutawatir, sahih, hasan dan dhaif serta maudhu’. Untuk sebagai hujjah,
hanya hadits mutawatir, sahih dan hasan yang bisa dipedomani. Ke tiga hadis ini
adalah maqbul, diterima sebagai hujjah.
Tentunya kita sepakat bahwa hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah adalah
hadis yang termasuk kategori maqbul. Namun hadis maqbul tidak dapat diterima
begitu saja karena pada hadis maqbul terdapat persoalan-persoalan yang
meragukan untuk dijadikan sebagai hujjah dalam menyelesaikan masalah.
Persoalannya adalah terdapatnya pada hadis maqbul riwayat-riwayat yang antara
satu dengan yang lainnya tampak saling bertentangan artinya menyangkut masalah
yang dihadapi tersebut disatu pihak ditemukan hadis dengan ketentuan hukum yang
membolehkan atau bahkan memerintahkan. Sedangkan dipihak lain ditemukan pula
hadis dengan ketentuan hukum yang melarang.
Adanya hadis-hadis mukhtalif (bertentangan) menyangkut suatu masalah tertentu,
secara praktis, hal ini dapat menimbulkan kebingungan dalam mengambil kepastian
ajaran ( ketentuan hukum) yang mengatur masalah tersebut, yang manakah di
antaranya yang harus diikuti dan diamalkan - seperti, yang memerintahkan atau
yang melarang - apabila cara-cara penyelesaian dari pertentangan-pertentangan
yang tampak di antara hadis-hadis tersebut tidak diketahui dengan baik. Supaya
kita tidak terjebak di dalam memahami hadits yang kelihatannya bertentangan,
maka kita perlu membahas suatu kajian hadis yaitu hadis mukhtalif dan
penyelesaiannya. Dalam makalah ini dibahas pengertian hadis mukhtalif, sebab
terjadinya hadis mukhtalif, urgensi ilmu mukhtalif hadis, dan metode
penyelesaian hadis mukhtalif.
Hadis Mukhtalif
A. Pengertian Hadis Mukhtalif
Secara etimologi adalah isim faa’il yang bisa diidhafatkan dengan isim lainnya
(dalam hal ini hadis) yang berasal dari kata kerja yang berarti (menjadikan
sesuatu berada di belakangnya atau dengan makna lain menjadikan sesuatu
bertolak belakang dengannya). Pengertian secara terminology, dapat dikemukakan
beberapa pendapat ulama hadis, di antaranya:
1. Pendapat al- Nawawi yang dikutip oleh al-Suyuthiy
Artinya : hadis-hadis mukhtalif ialah dua buah hadis yang saling bertentangan
pada makna lahiriahnya ( namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan, untuk
mengetahui makna sebenarnya tersebut) maka keduanya dikompromikan atau ditarjih
( untuk mengetahui mana yang kuat di antaranya).
2. Pendapat al- Tahanuwiy menjelaskan bahwa:
Artinya: dua buah hadis ( sama-sama dalam kategori) maqbul yang saling
bertentangan pada makna lahiriahnya (namun sebenarnya bukanlah bertentangan
karena) maksud yang dituju oleh satu dengan lainnya dapat dikompromikan dengan
cara yang wajar (tidak dicari-cari).
3. Pendapat Edi Safri, menjelaskan bahwa:
Hadis-hadis mukhtalif adalah hadis sahih atau hadis hasan yang secara lahiriah
tampak saling bertentangan dengan hadis sahih atau hadis hasan lainnya. Namun
makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah
bertentangan karena satu dengan lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau
dicari penyelesaiannya dalam bentuk nash atau tarjih.
Dari berbagai pengertian hadis mukhtalif di atas dapat dipahami bahwa hadis
mukhtalif adalah dua buah hadis yang sama-sama maqbul (hadis shahih atau hadis
hasan) yang tampak secara lahiriah bertentangan namun sebenarnya bukanlah
bertentangan dan penyelesaianya dapat dikompromikan atau ditarjih.
B. Sebab terjadinya hadis Mukhtalif
Nabi Muhammad adalah sumber ilmu bagi sahabat. Beliau sering diminta
petunjuknya dalam kehidupan sehari-hari oleh sahabat. Hal ini berlangsung
selama kehidupan Nabi. Segala persoalan sahabat beliau berikan penyelesaian
dengan tuntas. Nasehat yang diberikan kepada seseorang kadangkala belum dipahami
secara penuh oleh sahabat. Di samping itu sahabat juga mengamati perbuatan
rasul dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian sahabat melihat perbuatan rasul
dalam kaitannya dengan sebuah ibadah sekilas bertentangan dengan hadis yang
disampaikannya dengan lisan. Sehingga pemahaman yang tidak secara komprehensif
ini menjadikan dua buah hadis dalam tema yang sama seolah bertentangan.
C. Syarat-syarat terjadinya hadis Mukhtalif
1. Hadis lebih dari satu
2. Sama-sama hadis maqbul
3. Konstek hadis dalam persoalan yang sama
4. Hadis-hadis tersebut secara lahiriah bertentangan
5. Dapat dikompromikan sehingga ke duanya dapat diamalkan.
D. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Kajian tentang masalah-masalah yang menyangkut dengan hadis-hadis mukhtalif
ternyata telah melahirkan suatu cabang ilmu dalam disiplin ilmu hadis yang
disebut ilmu Mukhtalif hadis.
‘Ajjaj al-Khatib mendefenisikan ilmu Mukhtalif al-Hadis ini sebagai:
Artinya: Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan,
lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, di samping
membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan
kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
Menurut Zulhedi, ilmu mukhtalif hadis adalah teori atau cara-cara yang
dirumuskan oleh para ulama untuk menyelesaikan hadis-hadis yang secara lahiriah
tampak saling bertentangan agar dapat ditemukan pengkompromianya atau
penyelesaianya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh hadis-hadis itu
dapat dipahami dengan baik.
Jadi dengan demikian ilmu mukhtalif hadis merupakan salah satu cabang ilmu
hadis yang perlu diketahui oleh semua golongan ulama karena ilmu ini memiliki
fungsi sebagai alat panduan bagi seseorang dalam memahami hadis-hadis
Rasulullah. Hal ini dapat membantu terhindarnya ulama dari kekeliruan dan
kesalahan dalam memahami ajaran-ajaran yang dikandung oleh hadis-hadis
mukhtalif.
Sebagai salah satu cabang ilmu hadis, ilmu mukhtalif hadis tidaklah berdiri
sendiri. Dengan demikian terdapat ilmu-ilmu lain yang mempunyai hubungan erat
dengan ilmu mukhtalif hadis, yaitu:
1.Ilmu Gharib Hadis, yaitu ilmu yang mempelajari kata-kata yang sulit dipahami
maknanya
2. Ilmu asbab Wurud al-Hadis, yaitu ilmu yang mempelajari sebab-sebab yang
melatarbelakangi muncul suatu hadis
3.Ilmu Nasikh al-Hadis wa Mansukh, yakni ilmu untuk mempelajari mana hadis yang
telah di-nasakh-kan (mansukh) dan mana yang me-nasakh-kan (nasikh).
4.Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqh
Untuk menguasai ilmu hadis mukhtalif dengan baik, ilmu pembantu di atas
haruslah dikuasai dengan baik. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahan
dalam memahami hadis rasulullah, sehingga dapat memberikan penjelasan kepada
masyarakat.
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib para Ulama telah memberikan perhatian yang serius
terhadap ilmu Mukhtalif al-Hadis sejak masa sahabat. Mereka melakukan ijtihad
mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadis, menjelaskan dan
menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka,
mengkompromikan antar hadis yang tampak saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan
dalam memahaminya. Bukti dari keseriusan ulama tentang masalah ini, mereka
telah menulis karya-karya dalam bidang ini. Di antara karya-karya yang
terpopuler dalam bidang ini adalah:
1. Ikhtilaf al-Hadis karya Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i (150-204 H)
2. Ta’wil Mukhtalif al-Hadis karya Imam al-Hafidz Abdullah Ibn Muslim Ibn
Qutaibah ad-Dainuri (213-276 H)
3. Musykil al-Atsar karya Imam al-Muhaddis al-Faqih Abu Ja’far Ahmad Ibn
Muhammad ath- Thahawiy ( 239-321 H )
4. Musykil al-Hadis wa Bayanuhu karya Imam al-Muaddis Abu Bakar Muhammad Ibn
al-Hasan (Ibn Furak) al- Anshari al- Ashbahaniy yang wafat tahun 406 H.
E. Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif
Metode penyelesaian Hadis mukhtalif adalah cara atau tata kerja ilmu Mukhtalif
Hadis dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat di dalam hadis-hadis
mukhtalif. Ada beberapa cara kerja ilmu Mukhtalif Hadis ini, sebagaimana yang
telah ditetapkan oleh para ulama di bawah kepeloporan Imam asy-Syafi’i.
Imam asy-Syafi’I telah menetapkan suatu kaidah dalam ilmu Mukhtalif al-Hadis
yang selanjutnya diikuti oleh para ulama lainnya. Kaidah tersebut berbunyi:
Artinya: Janganlah sekali-kali mempertentangkan hadis-hadis Rasulullah yang
satu dengan hadis yang lainnya selama mungkin ditemukan jalan ( untuk mengkompromikannya)
agar hadis-hadis tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan terlantar suatu
hadis disebabkan hadis lainnya karena kita punnya kewajiban yang sama untuk
mengamalkan masing-masingnya. Oleh karena itu jangan jadikan (nilai)
hadis-hadis sebagai pertentangan kecuali apabila tidak mungkin diamalkan selain
harus meninggalkan salah satunya.
Hal ini dilakukan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasul
menyampaikan suatu ajaran (hadis-hadis) yang antara satu dengan yang lainnya
bertentangan. Jika bertemu dua buah hadis saling bertentangan, maka akan ada
dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ada kekeliruan di dalam menilai hadis,
mungkin saja salah satu di antaranya bukanlah hadis maqbul. Kemungkinan ke dua,
barangkali di antara hadis-hadis ini adalah hadis ghair al-ma’mul ( hadis yang
tidak diperintahkan untuk mengamalkannya).
Jika ketemu dua buah hadis yang termasuk dalam kategori maqbul sementara
keduanya kelihatan bertentangan, ulama hadis memberikan alternatif
penyelesaian, di antaranya adalah:
1. Menurut Imam Suyuti, penyelesaiannya adalah:
a. Mengkompromikan kedua dalil yang berlawanan
b. Mentarjih salah satu dalil bila kompromi tidak mungkin dilakukan
2. Menurut Muhammad Thahhan penyelesaiannya adalah:
a. Dilakukan kompromi antara keduanya jika mungkin dilakukan
b. Bila kompromi tidak mungkin, dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
1. Bila diketahui salah satunya nasikh, maka didahulukan dan diamalkan yang
nasikh, sedangkan yang mansukh ditinggalkan.
2. Jika tidak diketahui adanya nasikh, maka ditarjih salah satunya dengan
metode tarjih yang lazim dipakai
3. Kalau tarjih tidak dapat dilakukan, maka ditangguhkan beramal dengan hadis
mukhtalif itu sampai ditemukan adanya dalil yang lebih kuat.
3. Menurut asy-Syafi’i sebagaimana dijelaskan dalam tulisan Edi Safri, bahwa
penyelesaiannya adalah:
a. Penyelelesaian dalam bentuk kompromi
b. Penyelesaian dalam bentuk nasakh
c. Penyelesaian dalam bentuk tarjih
Pendapat di atas pada dasarnya sama, bahwa metode penyelesaian Hadis Mukhtalif
dapat dilakukan dengan bentuk kompromi, jika tidak mungkin dengan kompromi
dilakukan nasakh, kalau nasakh tidak dapat maka dilakukan tarjih. Berikut ini
akan dibicarakan satu persatu metode penyelesaian hadis Mukhtalif.
1. Penyelesaian dalam bentuk kompromi
Maksud dari penyelesaian dalam bentuk kompromi (al-jam’u wa al-taufiq) ini
adalah penyelesaian dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna
masing-masing sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh hadis-hadis itu dapat
dikompromikan. Dengan kata lain, mencari pemahaman yang tepat tentang
hadis-hadis yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga
masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntunan. Hal ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara:
a. Menggunakan kaidah ushul
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaidah ushul adalah
memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan
atau kaidah-kaidah ushul terkait yang telah dirumuskan oleh para ulama (ushul
al-Fiqh). Hal ini sangat perlu mendapat perhatian sebab masalah bagaimana
harusnya memahami maksud hadis atau mengistinbath-kan hukum-hukum yang
dikandungnya dengan baik, merupakan masalah yang menjadi objek kajian dari ilmu
ushul.
Di dalam bahasa Arab ada ungkapan dengan redaksi yang umum untuk tujuan umum
pula. Namun juga ada redaksi umum untuk maksud yang khusus. Pendekatan ini
dirasakan sangat tepat karena pada umumnya persoalan yang muncul pada
hadis-hadis semacam ini hannya menyangkut permasalahan ‘am (umum) dan khas
(khusus) serta muthlaq dan muqayyad.
Contoh masalah hadis zakat pertanian:
Artinya: Hadis dari Salim ibn Abdillah, dari Bapaknya dari Nabi SAW, Beliau
bersabda, “Hasil pertanian yang diairi dengan air hujan dengan mata air atau
genangan (sumber) air alami lainnya zakatnya sepuluh persen. Dan yang diairi
(disirami) dengan menggunakan bantuan unta zakatnya lima persen.(HR. Bukhari)
Hadis dari Abu Sa’id al-Khudhariy
Artinya: Dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “ Tidak ada wajib zakat pada hasil
pertanian yang tidak mencapai lima wasq. (HR. Bukhari)
Penyelesaiannya
Hadis pertama mengatakan wajib zakat hasil pertanian secara umum, baik hasilnya
banyak maupun sedikit tanpa ada perbedaan atau batasan. Hal ini tampak
bertentangan dengan hadis ke dua yang menyatakan tidak ada wajib zakat pada
hasil pertanian yang banyaknya tidak mencapai lima wasq. Penyelesaiannya adalah
dengan mentakhsis-kan hadis pertama dengan hadis ke dua. Jadi umum hadis
pertama diberlakukan terhadap hasil pertanian yang melebihi batasan yang
disebut hadis ke dua (lima wasq ke atas). Dengan demikian, hadis-hadis tersebut
dapat ditemukan pengkompromiannya dengan menarik suatu kesimpulan bahwa hasil
pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang banyaknya mencapai lima
wasq ke atas (berdasarkan hadis pertama). Dan tidak wajib zakat jika hasilnya
tidak mencapai lima wasq (berdasarkan hadis ke dua)
b. Penyelesaian berdasarkan pemahaman konstektual
Sebagian hadis-hadis Rasulullah muncul dengan dilatarbelakangi oleh peristiwa
atau situasi tertentu yang lazim disebut dengan sabab wurud al-hadis. Dalam hal
ini disebut dengan istilah konteks.
Pemahaman kontekstual yang dimaksud adalah memahami hadis-hadis Rasulullah
dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi
yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut.
Contoh: hadis pinang meminang.
1. Hadis dari Ibn Umar
Artinya: Dari ‘Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Janganlah
salah seorang kamu meminang pinangan saudaranya. (HR. Syafi’i)
2. Hadis dari Fatimah binti Qays: bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Apabila engkau telah habis iddah, beritahulah aku”. Kata Fatimah, “ setelah
habis iddahku, akupun memberitahu Rasulullah bahwa Muawiyah dan Abu Jahm
meminangku.: Kata Rasulullah Muawiyah adalah laki-laki miskin, sedangkan Abu
Jahm adalah laki-laki yang sering memukul istrinya. Oleh karena itu, nikahlah
dengan Usamah ibn Zaid. Kata Fatimah, “ akan tetapi aku kurang senang
kepadanya.” Kata Rasulullah lagi, “ Nikahlah anda dengan Usamah”. Kata Fatimah
lebih lanjut maka akupun menikah denganya, Allah pun memberkahi perkawinan kami
dan akupun bahagia denganya.
Penyelesaiannya
Dalam hadis pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang
oleh orang lain. Akan tetapi hal ini tampak bertentangan hadis ke dua, sebab
dalam hadis ke dua justru Rasulullah sendiri meminang Fatimah binti Qais untuk
Usamah ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Muawiyah dan Abu Jahm.
Penyelesaiannya perlu diketahui latar belakang munculnya ke dua hadis tersebut.
latar belakang hadis pertama menurut Syafi’i, bahwa Rasul ditannya tentang
seseorang yang meminang perempuan, pinangannya diterima oleh perempuan
tersebut. akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata
lebih menarik perempuan dan ingin membatalkan pinangan pertama. Berdasarkan
inilah Rasulullah mengatakan larangan meminang perempuan yang sudah dipinang
oleh orang lain. Sedangkan hadis kedua konteksnya lain, Fatimah binti Qais
dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm tidaklah pada waktu yang bersamaan, melainkan
ada yang dahulu dan ada yang kemudian. Dalam konstek ini Fatimah sebenarnya
belum menerima pinangan ke dua laki-laki tersebut. Fatimah memberitahu bahwa ia
dipinang oleh dua laki-laki mungkin saja ia maksudkan untuk minta nasehat pada
Rasul.
Lalu dengan dipinangnya Fatimah oleh Rasul untuk Usamah menunjukkan bahwa
keadaan Fatimah waktu itu tidak sama dengan keadaan yang dimaksud oleh hadis
pertama.
Dengan demikian jelaslah bahwa ke dua hadis di atas memiliki konteks yang
berbeda. Dan tidaklah bertentangan ke dua hadis tersebut bila dilihat dari
konteksnya, maka penyelesaianya dapat dikompromikan. Yakni larangan meminang
atas pinangan orang lain, apabila pinangannya tersebut tidak atau belum
diterima boleh dilaksanakan peminangan.
c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif
Bentuk penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif ini maksudnya adalah dengan
jalan mengkaji hadis-hadis mukhtalif yang tampak saling bertentangan itu
bersama dengan hadis-hadis lain yang terkait dengan memperhatikan keterkaitan makna
satu sama lain. Hal ini dilakukan agar pemahaman yang menyatakan bahwa
hadis-hadis tersebut saling bertentangan itu dapat dipertemukan atau
dikompromikan.
Contoh: hadis waktu-waktu terlarang
1. Hadis dari Abu Hurairah
Artinya: dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW melarang shalat sesudah Ashar hingga
matahari terbenam dan setelah shalat Subuh hingga terbit matahari.
2. Hadis Ibn Umar
Artinya: Dari Ibn Umar sesungguhnya Rasulullah SAW besabda “ jangan ada di
antara kamu yang berkeinginan melakukan shalat pada waktu terbit dan
tenggelamnya matahari.
3. Hadis Ibn Musayyab
Artinya: Dari Ibn Musayyab bahwa Rasulullah SAW, “ Barang siapa yang lupa
mengerjakan shalat, maka hendaklah segera ia laksanakan pada saat ia ingat,
karena Allah SWT berfirman, Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
4. Hadis dari Jubair Ibn Muth’im bahwasannya Nabi SAW bersabda, “ Wahai bani
“Abd Manaf, barang siapa yang di antaramu yang menjadi pemimpin, maka
sekali-kali jangan ia melarang seseorang melakukan tawaf di Baitullah dan
melakukan shalat kapan ia mau, baik siang ataupun malam.
Penyelesaiannya
Dalam hadis pertama dan kedua, Rasulullah melarang shalat pada waktu: 1)
setelah selesai_ shalat Ashar sampai matahari terbenam.2) setelah selesai
shalat subuh sampai matahari terbit.
Hadis ke tiga dan ke empat Rasulullah mengatakan boleh bagi seseorang
mengerjakan shalat kapan saja siang maupun malam.
Menurut asy- Syafi’i maksud hadis larangan shalat di atas ada dua kemu ngkinan,
apakah diberlakukan secara umum yakni terhadap shalat wajib dan shalat sunat.
Ataukah diberlakukan secara khusus yakni salah satu dari di antaranya. Untuk
mengetahuinya haruslah diperhatikan keterangan atau petunjuk dari Rasulullah.
Artinya harus dilihat keterkaitannya dengan hadis lain. Seperti hadis dari Abu
Hurairah, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “ Siapa yang sempat melakukan
satu rakaat shalat shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah dianggap telah
melakukan shalat subuh tersebut (seluruhnya) dalam waktunya. Dan siapa yang
sempat melakukan satu rakaat shalat Asar sebelum matahari terbenam, maka dia
dianggap melakukan shalat Asar tersebut (seluruhnya) dalam waktunya.
Jadi dapat
dipahami bahwa seseorang yang hannya mendapatkan satu rakaat shalat subuh
sebelum matahari terbit dan satu rakaat shalat Asar sebelum matahari terbenam,
maka rakaat berikutnya dari shalat Subuh sudah pasti dilakukannya di kala
matahari terbit. Demikian pula rakaat rakaat shalat Asar berikutnya, tentu
dilakukan dikala matahari terbenam. Dengan dibiarkannya seseorang menyempurnakan
shalat Subuh di kala matahari terbit dan menyempurnakan rakaat shalat Asar
dikala matahari terbenam, bahkan seluruh shalatnya dianggap sebagai dalam
waktu, maka hal ini dapat dijadikan petunjuk bahwa larangan shalat pada
waktu-waktu yang disebut dalam dua hadis pertama dimaksudkan untuk diberlakukan
secara khusus, yakni untuk shalat sunat bukan shalat wajib.
d. Penyelesaian dengan cara Takwil
Takwil berarti memalingkan lafal dari makna lahiriah kepada makna lain (yang
lebih tepat) yang dikandung oleh lafal karena adanya qarinah yang
menghendakinya. Hal ini berarti meninggalkan makna lahiriah suatu lafal karena
dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujukannya, dengan mengambil
makna lain yang lebih tepat di antara beberapa kemungkinan makna yang dapat
dipahami dari lafal tersebut. Pemalingan makna ini dilakukan karena adanya
dalil yang menghendaki.
Contoh hadis
1. Hadis dari Rafi’ ibn Khadij
Artinya: Dari Rafi’ ibn Khadij bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “
Tunaikanlah shalat Subuh pada waktu Subuh sudah mulai terang ( sudah
menyebarkan cahaya kuning-kuningan), karena melaksanakan pada waktu itu lebih
besar pahalanya.
2. Hadis ke dua dari Aisyah
Artinya: Dari
Aisyah dia berkata: “ mereka perempuan mukminat, biasanya melaksanakan shalat
subuh bersama Rasulullah, kemudian (selesai shalat) mereka pulang sambil
menyelimuti diri dengan kain yang mereka pakai. Tak seorangpun yang dapat
mengenali mereka karena suasana masih gelap.
Penyelesaiannya
Pertentangan yang tampak di antara hadis-hadis di atas ternyata melahirkan
perbedaan di kalangan ulama tentang kapan sebenarnya waktu yang afdhal untuk
menunaikan shalat tersebut. Imam Abu Hanifah dan sahabatnya serta kebanyakan
ulama Irak berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah waktu al- Isfar. Sedangkan
Imam al- Syafi’i, Malik, Ahmad dan lainnya berpendapat bahwa waktu afdhalnya
adalah pada awal waktu subuh yang suasananya masih diwarnai oleh kegelapan
penghujung malam.
Menurut al-Syafi’i penyelesaiannya adalah dengan menakwilkan hadis Rafi’ dan
berpegang dengan hadis Aisyah karena dalam hal ini hadis Aisyah dinilainya
mempunyai nilai lebih dibanding hadis Rafi’ untuk dijadikan hujjah. Keutamaan
hadis ini karena mengandung makna yang lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan juga
didukung oleh riwayat sahabat yang lainya. Sedangkan hadis Rafi’ ditakwilkan
oleh Syafi’i kepada makna lain yang lebih sesuai dengan makna hadis Aisyah
sehingga ke duanya dapat dikompromikan.
Dengan berupaya mencari makna lain dari hadis Rafi’ dengan jalan mentakwilkan,
didapati kesamaan maksud dengan hadis Aisyah, bahwa shalat subuh mestilah
dikerjakan diwaktu subuh.
2. Penyelesaian dalam bentuk Nasakh
Apabila dua hadis yang tampak bertentangan tidak dapat dilakukan penggabungan,
maka dapat ditempuh dua jalan: (1) kemungkinan nasikh dan masukh dan (2)
kemungkinan tarjih. Menurut bahasa kata nasakh mengandung arti menghilangkan
(al-izalat), membatalkan (al-ibtal), menukar (al-tabdil), memalingkan
(al-tahwil) dan memindahkan (al-naqlil). Sedangkan menurut istilah, nasakh
adalah Syari’ mengangkat suatu hukum syari’ dengan menggunakan dalil syari’
yang datang belakangan. Hal ini dilakukan karena Nabi adakalanya menyampaikan
suatu ajaran Islam di dalam suatu hadisnya, namun kemudian ajaran tersebut
dihapuskan dengan hadis yang datang kemudian. Sebenarnya dalam hal ini Rasul
memberikan penjelasan tentang setiap hadis yang dinasakh itu. Hannya saja,
terkadang siperawi tidak mengetahui terjadi nasakh di antara hadis tersebut,
dan perawi yang lain juga menerima hadis versi yang satunya lagi.
Apabila memang terjadi nasakh, maka hadis-hadis tersebut haruslah diselesaikan
(dipahami) sesuai dengan ketentuan nasakh yaitu mengamalkan hadis yang datang
belakangan ( nasikh) dan meninggalkan hadis yang datang terdahulu (mansukh).
Contoh Hadis:
1. Hadis dari Syadad ibn Aws,
Artinya: Dari Syadad Ibn Aws, dia berkata, “aku pernah bersama Nabi pada tahun
memasuki kota mekah, Nabi melihat seseorang sedang berbekam, yakni pada hari ke
delepan belas bulan Ramadhan. Sambil memegang tanganku beliau lantas bersabda,
“ yang membekam dan yang dibekam batal puasanya”
2. Hadis dari Ibn Abbas
Artinya: Dari ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW berbekam sedang ia dalam berilham
lagi berpuasa.
Penyelesaian
Menurut as-Syafi’i pertentangan ke dua hadis tersebut sulit untuk dikompromikan
karena itu ia menyelesaikannya dengan cara nasakh. Dalam hal ini hadis ibn
Abbas berfungsi sebagai nasikh dan hadis Syaddad ibn Aws sebagai mansukh.
Dengan demikian maka hadis ibn ‘Abbaslah yang harus dipegang dan diikuti sedangkan
hadis Syaddad ibn Aws ditinggalkan.
3. Penyelesaian dalam bentuk Tarjih
Tarjih dapat diartikan sebagai memperbandingkan dalil-dalil yang nampak saling
bertentangan untuk dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat
dibandingkan dengan yang lain. Jadi dalam kasus hadis-hadis mukhtalif yang
tidak dapat dikompromikan dan diantaranya tidak terjadi nasakh, maka
hadis-hadis tersebut diperbandingkan. Kualitas masing-masing hadis dikaji lebih
jauh agar dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dan lebih tinggi
nilai hujjahnya dibandingkan yang lainnya.
Contoh Hadis
1. Hadis dari Aisyah
Artinya: hadis dari Aisyah, bahwa seorang laki-laki pernah bertannya kepada
Rasulullah, beliau ketika itu sedang berdiri di depan pintu dan aku ( kata
Aisyah) mendengarkannya. Laki-laki itu berkata, “ Ya Rasulullah, aku junub
sampai pagi hari, akupun ingin untuk terus berpuasa maka akupun mandi dan terus
berpuasa pada hari itu.
2. Hadis dari Abu Hurairah
Artinya: “siapa yang junub sampai pagi hari, batallah puasanya pada hari itu.
Penyelesaiannya
Dari hadis pertama dapat dipahami bahwa junub sampai pagi hari (setelah masuk
imsak) tidaklah membatalkan puasa. Oleh karena itu, seorang yang junub sampai
masuknya waktu imsak, atau sampai pagi hari puasa, ia dapat meneruskan puasanya
pada hari itu sebagaimana biasanya. Akan tetapi hadis kedua secara tegas
menjelaskan bahwa junub sampai pagi hari membatalkan puasa, jadi seseorang yang
junub sampai masuk waktu imsak, puasanya hari itu batal karenanya.
Di antara dua hadis yang bertentangan di atas, menurut asy-Syafi’i hadis
Aisyahlah yang harus dipegang dan diamalkan, bukan hadis Abu Hurairah. Hal ini
didasarkan as-Syafi’i kepada hasil pentarjihannnya dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Hadis Aisyah nilai kompetensinya lebih tinggi karena ia adalah istri
Rasulullah
2. Dari segi periwayatan, hadis Aisyah mempunyai periwayatan yang lebih banyak
3. Dari segi kandungan makna hadis Aisyah mengandung makna yang lebih rasional
F. Kesimpulan
Hadis Nabi sebagai pedoman ke dua umat Islam mesti dipahami secara
komprehensif. Dengan demikian dapat dihindari kesalahan di dalam memahami
hadis. Tidak ada lagi tuduhan bahwa hadis Nabi memiliki makna yang
bertentangan. Ulama telah berijtihad bahwa hadis yang kelihatannya bertentangan
dapat diselesaikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Dikompromikan antara ke dua hadis yang bertentangan sehingga kandungan makna
atau maksud yang dituju hadis tersebut dapat diproleh titik temunya.
Penyelesaian bentuk kompromi ini ada beberapa cara yang yang dapat ditempuh
yakni:
a. Penyelesaian berdasarkan kaidah ushul
b. Penyelesaian berdasarkan pemahaman konstektual
c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif
d. Penyelesaian dengan cara takwil
2. Bila penyelesaian dengan cara kompromi tidak dapat dilakukan, maka cara yang
ditempuh dapat digunakan dalam bentuk nasakh
3. Jika penyelesaian secara nasakh tidak dapat dilakukan, maka cara lainnya
adalah dengan bentuk tarjih.
Daftar Kepustakaan
Abdul al-Rahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Raawi, (Madinah: Maktabah
al-Ilmiyah, 1972)
Edi Safri, Al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian hadis-hadis mukhtalif,
(Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999)
Ibnu Manzur, Lisaan al-Arab, (Beirut: Dar al-Fikri, 1990),
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1998)
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, (Kuwait: Dar al-Turats, 1984
Zafar Ahnad Usmani al-Tahaanuwi, Qawaaid fi Uluum al-Hadis, (Beirut : Dar
al-Salam, 1996)
Zulhedi, Memahami hadis-hadis yang bertentangan, (Jakarta: Nuansa Madani, 2001)
0 Response to "Makalah Hadist Muhtalif"
Posting Komentar