DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN RAKYAT
Oleh: DR. KHMA. Sahal Mahfudz
Dimensi dakwah yang
sering kali terabaikan oleh para dai dan ulama adalah persoalan pengembangan
masyarakat. Sekarang ini, umat Islam telah berjumlah lebih dari satu miliar
orang yang diharapkan akan terus meningkat. Banyak bagian dari dunia Muslim
yang tertinggal secara teknologi dan ekonomi.
Mereka sangat menderita
dalam memenuhi kebutuhannya setiap hari dan sangat gagap terhadap perkembangan
teknologi. Akibatnya, komunikasi ilmu pengetahuan dan informasi agama Islam
yang mestinya dengan mudah bisa diakses, karena kedua kesulitan itulah,
menjadikan mereka terus terbelakang dan terus mengalami pembodohan.
Untuk menanggulangi hal
itu, tentu saja dibutuhkan kerja sama untuk mengentaskan kemiskinan dan
melakukan pemberdayaan terhadap mereka yang terbelakang. Hal itu bisa berwujud
dalam bentuk pendidikan keterampilan, pembukaan lapangan kerja, penanggulangan
pemakaian obat-obat terlarang, atau pelatihan teknologi tepat guna.
Agenda itu mesti segera
dijalankan dengan kerja sama antara organisasi Islam dan pemerintah atau
lembaga lain. Sebab, pada dasarnya, tujuan dakwah adalah untuk menyejahterakan
umat manusia di muka bumi dan akhirat nanti. Bila keadaan mereka terus merasa
tertekan, kesusahan, dan mengalami pembodohan; bagaimana mungkin ibadah yang
menekankan pada ketenangan dan kekhusyukan dapat mereka jalankan?
Hal itulah yang
seharusnya juga menjadi tantangan dalam dakwah Islam. Para dai atau mubaligh
hendaknya juga ada yang mendalami persoalan-persoalan yang terjadi di
masyarakat. Dalam analisis tentang perubahan-perubahan kemasyarakatan,
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adalah bentuk dakwah yang mesti
dilakukan. Berdasarkan sebuah hadis Nabi SAW dinyatakan, "Kefakiran dapat
membawa ke kekufuran."
Oleh karena itu, untuk
menghindari kekufuran, kemiskinan yang menimpa umat Islam harus segera
dikurangi jika tak bisa dilenyapkan. Maka dari itu, tema utama dakwah ke
lapisan bawah adalah dakwah bil hal, yaitu dakwah yang menekankan perubahan dan
perbaikan kondisi material lapisan masyarakat yang miskin. Dengan perbaikan
kondisi material itu, diharapkan dapat dicegah kecenderungan ke arah kekufuran
atau pindah agama karena mendapatkan godaan santunan ekonomi sehingga iman
mereka beralih.
Untuk mewujudkan
tatanan masyarakat seperti itu, sumber daya manusia yang melakukan tugas dakwah
Islam di era ini tentu saja harus juga memfokuskan dirinya pada wilayah
etis-emansipatoris. Terlebih lagi ketika kapitalisme dan globalisasi yang
sangat tidak mengindahkan kemanusiaan dan keadilan melaju tanpa henti.
Kesadaran kritis-emansipatoris sebagai manifestasi pembumian ayat-ayat Alquran
dan sunah Nabi SAW oleh para dai itu tidak harus diartikan sebagai gerakan
antikemapanan atau lembaga swadaya masyarakat.
Sebab, kesadaran
semacam ini dalam bingkai ilmu pengetahuan dianggap sebagai perwujudan dari
sinergi epistemologi dan aksiologi. Dengan pendekatan model inilah, dakwah
billisan, bil qalam, dan bil hal bisa dijalankan dalam satu waktu.
Agenda pemberdayaan
Agenda pemberdayaan
masyarakat juga sesuai dengan yang dimaksud oleh Allah SWT sebagaimana
tercantum dalam Alquran surah Ali-Imran ayat 110 yang berbunyi, "Engkau
adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan
kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan), dan beriman kepada Allah."
Saya memandang bahwa
kontribusi nilai-nilai agama dalam dakwah ini adalah untuk memperbaiki
masyakarat, asalkan gerakan dakwah itu bukan sekadar disampaikan tanpa
dievaluasi. Contoh sekarang ini adalah kuliah Subuh di televisi yang dilakukan
pada pukul lima pagi. Yang bangun pukul lima itu hanya beberapa orang yang
sudah kuat agamanya. Kadang-kadang, yang memberi ceramah kuliah Subuh itu sudah
kita kenal semua. Mestinya, ceramah agama itu pada waktu-waktu luang. Justru,
waktu luang sekarang ini kebanyakan diisi cerita setan, cerita tuyul, dan
cerita-cerita yang tidak mendidik anak bangsa.
Berkenaan dengan dakwah
yang cenderung menimbulkan 'konflik', saya memandang perlu diperhatikan
beberapa hal. Pertama, pentingnya pendidikan. Kedua, pentingnya menghilangkan
kesenjangan. Dalam konteks Indonesia, barangkali itu adalah pemerataan karena
inilah yang membuat kegagalan pembangunan di era masa lalu. Pada masa itu, di
samping tradisi ekonomi kita yang lumayan, kebijakan-kebijakan dalam bidang
ekonomi itu banyak diselewengkan.
Dua ratus 'anak haram'
konglomerat dari pembangunan ekonomi bangsa adalah 'anak haram' pembangunan
ekonomi Orde Baru. Nah, karena itu, dalam pembangunan sekarang ini, jangan
sekali-kali kita diarahkan mencetak konglomerat-konglomerat baru yang memaafkan
konglomerat-konglomerat lama yang telah berutang pada uang rakyat.
Seiring dengan
perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang banyak memengaruhi
persepsi dan kebutuhan manusia, dakwah Islam memang harus melakukan evaluasi
diri, proyeksi, dan penyusunan strategi agar tetap aktual dan kontekstual
dengan kebutuhan masyarakat. Dan, dakwah bisa dijadikan sebuah alternatif
solusi terhadap berbagai problem dan tantangan kehidupan yang semakin
bertumpuk-tumpuk ini.
Dalam meletakkan
prioritas solusi alternatif itu, kita harus mengacu pada struktur bangunan
dakwah yang bagus berdasarkan analisis, berdasarkan terapi yang total.
Sehingga, kontradiksi umat Islam terbesar di dunia sekaligus umat yang terkorup
di dunia dapat kita kurangi, bahkan dihilangkan. Di samping itu, para mubaligh
kita harus senantiasa memperbarui isi dan penampilan dakwahnya. Jalan yang bisa
dilakukan paling tidak adalah dengan melakukan iqra`, banyak membaca. Kedua,
para mubaligh seharusnya juga senantiasa mengasah pikiran sebagaimana disindir
oleh Alla dalam Alquran.
Dengan begitu, kita
harus senantiasa menggunakan pikiran dan analisis dalam struktur dakwah yang
kita sajikan kepada masyarakat. Analisis harus kita utamakan dulu sebelum
mengambil kesimpulan-kesimpulan umum yang akan kita perhatikan. Dan, yang lebih
penting lagi adalah para mubaligh mencari tahu apa sebenarnya masalah utama
masyarakat kita. Itu yang menjadikan prioritas pengobatan pertama kita. Kalau
kita mendapati pasien sakit liver dan sakit panu, livernya dulu kita obati.
Jangan panunya dulu yang diobati. Sebab, panu itu tidak akan membunuh orang.
Begitu juga dengan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.
Oleh karena itu, di
samping ayat-ayat tentang moralitas dalam kehidupan sehari-hari dengan sesama
manusia, Alquran juga menekankan prinsip keadilan. Dalam prinsip keadilan ini,
setiap manusia dituntut untuk berlaku adil, baik kepada dirinya sendiri maupun
orang lain. Maka, masyarakat dan komunitas Muslim yang terbuka serta yang bisa
saling melakukan amar ma'ruf nahi munkar dan introspeksi adalah masyarakat
ideal yang dicita-citakan oleh Islam. Kita harus menilai secara sangat positif
bahwa dakwah harus memberikan sumbangan untuk nilai-nilai kemanusiaan. Sebab,
di samping sasaran dakwah itu adalah akhlak manusia, juga harus memerhatikan
persoalan kemanusiaan.
DAKWAH
dalam arti bahasa berarti mengajak, me nyeru, memanggil. Berangkat dan
pengeritian bahasa itu, lalu dihubungkan dengan nash Al-Qur’an dan Hadits yang
berkaitan dengan dakwah Islam, Syekh Ali Mahfudh dalam kitabnya Hidayatu
al-Mursyidin me netapkan definisi dakwah sebagai benkut:
Mendorong
(memotivasi) untuk berbuat baik, mengikuti petunjuk (Allah), menyuruh orang
mengerjakan kebaikan, melarang mengerjakan kejelekan, agar dia bahagia di dunia
dan akherat.
Definisi
di atas menunjukkan, dakwah adalah usa ha sadar yang disengaja untuk memberikan
motivasi kepada orang atau kelompok (biasa disebut kelompok sasaran) yang
mengacu ke arah tercapainya tujuan di atas.
Ilmu
manajemen menyebut, salah satu syarat keberhasilan usaha motivasi adalah
terpenuhinya kebutuhan kelompok sasaran. Dengan demikian, melakukan kegiatan
dakwah yang pada dasarnya adalah memberi motivasi kepada orang lain, perlu
memperhatikan kebutuhan kelompok sasaran. Apalagi muara dakwah tidak lain dari
tercapainya kesejahteraan dunia dan akhirat. Sesungguhnya dakwah dalam
pengertian ini adalah memberdayakan masyarakat atau rakyat.
Pelaku
dakwah tentunya harus mengetabui secara persis, menggali kebutuhan kelompok,
menggali potensi (manusia, alam dan teknologi) yang bermanfaat untuk memenuhi
kebutuhan kelompok dalam jangka pendek mau pun jangka panjang. Kemampuan
melakukan penggalian kebutuhan tidak saja diharapkan bisa mengetahui kebutuhan
atau masalah yang mendesak dan mendasar, tetapi juga kemampuan mengantisipasi
kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang, atas dasar kebutuhan sekarang,
perkembangan sosial budaya, perkembangan teknologi dan lingkungan di
masyarakat.
Dalarn
teori motivasi dikenal adanya hirarki kebutuhan (hierarchy of need). Artinya
ada semacam hirarki yang rnengatur dengan sendirinya kebutuhan manusia, mulai
kebutuhan fisik, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri.
Kebutuhan
fisik seperti gaji, upah, tunjangan, honorarium, bantuan pakaian, sewa rumah,
uang transportasi dan sebagainya.
Kebutuhan
keamanan seperti jaminan masa tua (pensiun), santunan kecelakaan, jaminan
asuransi kesehatan, aman dari tindak kejahatan.
Kebutahan
sosial seperti orang menjadi anggota kelompok fformal atau informal, menjadi
ketua organisasi atau yayasan.
Kebutuhan
penghargaan agar orang menghargai, usaha dirinya seperti status, titel,
promosi, perjamuan.
Kebutuhan
aktualisasi diri, seperti keinginan memaksimalkan potensi diri, menjadi pemuda
pelopor, jadi tokoh ideal, atlet pemecah rekor.
Secara
umum kebutuhan fisik (makan, sandang, papan) rnenempati urutan teratas. Barulah
kebutuhan keamanan dan seterusnya. Dengan kata lain, ketika kebutuhan fisik
umumnya sudah terpenuhi, manusia baru termotivasi memenubi kebutuhan lain.
Namun
teori ini juga mengakui adanya pengecualian. Ada seseorang yang lebih
rnementingkan kebutuhan aktualisasi diri daripada kebutuhan fisik. Contohnya
Mahatma Gandhi di India. Meskipun Gandhi secara fisik melarat, tapi berani
berjuang bahkan berani mogok makan dalam rangka kemerdekaan diri dan bangsanva.
barangkali banyak kasus seperti Gandhi, misalnya pejuang-pejuang kemerdekaan
kita, atau para kiai yang shalih dan wara’ atau para santri dan pendukungnya,
adalah figur yang tidak terlalu memerlukan kebutuhan fisik. Mereka lebih
membutuhkan aktualisasi diri atau sosial.
Berangkat
dari teori ini, dakwah harus disesuaikan dengan masyarakat sasaran. Materi
dakwah juga perlu dipilah antara untuk kader dakwah dan masyarakat sasaran.
Motivasi untuk kader tidak harus sama dengan motivasi untuk kelompok sasaran.
Pemilahan
sasaran dakwah secara jeli juga penting, mengingat ketimpangan ekonomi dalam
masyarakat sebenarnya semakin melebar. Kalau kita melihat data sekunder kependudukan
di Indonesia, maka dapat disebutkan, pada tahun 1990 pendapatan rata-rata
setiap orang sebesar Rp 620,- tiap hari. Jumlah itu untuk biaya makan, minum,
pendidikan, kesehatan, rokok, perawatan rumah, beli minyak, sewa listrik dan
sebagainya.
Ukuran
itu digunakan untuk saudara-saudara kita yang mempunyai pabrik, rumah tingkat,
deposito pada bank asing, mau pun yang hidup di bawah kolong jembatan dan
kekurangan gizi parah. Tidak peduli bagi 30%, penduduk yang hidup tanpa tanah,
air bersih atau tanpa perawatan kesehatan dan tanpa pengobatan. Tidak peduli
juga bagi 50% penduduk buta huruf yang berusia di atas 15 tahun. Mereka semua
diasumsikan berpendapatan sama. Padahal kalau melihat data primer secara
empiris, dari desa atau kota, betapa melaratnya rakyat kecil. Sebagian besar di
antara penduduk Indonesia yang miskin, mayoritas adalah muslim.
Gambaran
di atas rnenurjukkan betapa besar dan luas, sasaran dakwah. Dengan demikian
organisasi pemuda yang mempunyai banyak potensi barangkali secara bertahap
tetapi pasti harus lebih terpanggil, untuk berdakwah.
PENTING
untuk diperhatikan, bila dakwah berorientasi pada pemenuhan kebutuhan kelompok,
maka perlu pendekatan yang partisipatif, bukan pendekatan teknokratis. Dengan
pendekatan itu, kebutuhan digali oleh motivator dakwah (kader) bersama kelompok
sasaran yang akan diberdayakan. Pemecahan masalah direncanakan dan dilaksanakan
oleh kader kelompok. Bahkan kegiatan pun dinilai bersama, untuk rnemperbaiki
aktifitas selanjutnya. Pendekatan macam ini, perlu sistem monitoring dalam
pelaporan yang up to date. Inilah yang sekarang di kalangan Lembaga Swadaya
Masyarakat sedang populer disebut “riset aksi”.
Dengan
demikian dakwah tidak dilakukan dengan perencanaan global yang turun dari atas
(top down), yang kadang-kadang sampai di bawah tidak menyelesaikan masalah.
Perencanaan model top down sering mengabaikan pemetaan masalah, potensi dan
hambatan spesifik berdasarkan wilayah atau kelompok, apalagi per jenis
kegiatan. Tipe satu kelompok masyarakat di satu desa, tidak akan sama dengan
kelompok lain di tempat yang berbeda.
Dakwah
inilah yang sekarang disebut dengan dakwah bil hal atau dakwah pembangunan,
atau dakwah bil hikmah menurut bahasa Al-Qur’an. Seperti yang tercantum dalam
surat Al-Nahl ayat 125, “Serulah manusia ke jalan, Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik, dan bantulah mereka dengan cara yang baik.”
Dra
Chadidjah Nasution menyebutkan, dakwah bil hikmah adalah berdakwah dengan
memusatkan pikiran kepada tugasnya atau tidak mencampuradukkan masalah-masalah
lain di dalam pikirannya, sehingga da’i dapat mengetahui apakah yang dibutuhkan
oleh penerima dakwahnya.
Orang
menyebut dakwah bil hal, barangkali merupakan koreksi terhadap dakwah selama
ini yang banyak terfokus kepada dakwah mimbar yang monoton dari sisi penerima
dan pembicaranya, sementara dana dan daya habis untuk kegiatan semacam itu
tanpa perubahan berarti.
Namun
kalau melakukan dakwah bil hal atau dakwah bil hikmah, apakah lalu dakwah bil
lisan atau mau’’idhah hasanah ditinggalkan? Sama sekali tidak. Sebab tetap ada
media untuk dakwah model mau’idhah hasanah. Dakwah mimbariyah tetap perlu dalam
konteks tertentu, misalnya soal giliran khatib Jum’at, atau seorang kepala
keluarga yang memberi nasihat kepada anak istri dan anggota keluarga lain,
sebagai pengasuh/guru untak menasehati anak didik.
Juga
tidak ditinggalkan cara berdakwah yang ketiga, yaitu mujadalah yang lebih ahsan
atau seperti dalam forum dialog, seminar, simposium, atau diskusi-diskusi.
Melihat
sasaran dakwah yang begitu luas, sementara perkembangan teknologi begitu
pesatnya, maka dakwah perlu menggunakan media sesuai dengan kelompok sasaran.
Klasifikasinya ditinjau dari umur, status sosial, tingkat pendidikan dan
kebutuhan kelompok sasaran itu sendiri.
Dengan
menyebarnya rnedia yang beragam, segala kecanggihan teknologi di tengah
masyarakat serta cepatnya arus informasi, tanpa menggunakan media yang sesuai,
maka kelompok sasaran akan enggan dan malas menerima penampilan dakwah yang
dilakukan secara konvensional. Pada akhirnya dakwah yang dilakukan tidak
memenuhi selera sasaran dan tujuan, meski berjalan, tetapi tetap berada di
tempat. Mundur tidak maju pun tidak.
Data
statistik menunjukkan kemunduran jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia. Ini
banru secara kuantitatif.Belum lagi kalau yang berkurang adalah orang yang
‘abid dan shaleh, maka itu sudah menyangkut kualitas. Artinya angka orang yang
benar-benar muslim mungkin lebih sedikit dari yang diduga orang.
Di
samping menggunakan media yang dapat diterima oleh kelompok sasaran, diperlukan
arah dan strategi yang matang. Soalnya, dakwah beorientasi pada pencapaian
sasaran itu, tidak berada dalam “ruangan” yang hampa. “Ruang” sudah berisi
budaya, teknologi, sistem nilai dan peraturan perundangan yang mengikat.
Kelompok sasaran dakwah adalah warga negara Indonesia yang bernaung di bawah
negara kesatuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan. Agar dakwah
berdaya guna dan berhasil guna, maka harus mengacu pada pencapaian tujuan dan
memakai strategi yang bisa mengatasi hambatan yang diperkirakan.
Dari
sini da’i dituntut untak melakukan persiapan sosial yang matang, perencanaan
yang mendasar sampai kepada data empiris, terkoordinasi misalnya dengan sesama
organisasi NU mau pun non-NU. Sehingga dengan demikian tidak terjadi over lapping
antar sesama organisasi NU atau persaingan tidak sehat dengan organisasi lain.
Lalu
siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan dakwah dengan jangkauan begitu
luas dan begitu beragam pendekatannya? Kalau kita menyandarkan diri kepada
A1-Qur’an surat Ali Imron ayat 104, maka kewajiban dakwah itu diharuskan kepada
sebagian atau segolongan umat Islam. Maka dari itu ada yang berpendapat, dakwah
hukumnya fardlu kifayah.
Namun
persoalannya siapa segolongan umat itu? Golongan kiai, golongan orang kaya, golongan
intelektual atau sebagian dari setiap golongan tersebut? Melihat kompleknya
masalah. dakwah tersebut diatas, maka semua lapisan muslim yang mempunyai
kelebihan bertanggung jawab untuk melakukan dakwah sesuai dengan kemampuan dan
sasarannya.
Dakwah
juga bisa dalam bentuk pengembangan masyarakat. Keduanya tidak jauh berbeda.
Sebab pengembangan masyarakat atau pemberdayaan rakyat adalah proses dari
serangkaian kegiatan yang mengarah kepada peningkatan taraf hidup dan
kesejahteran masyarakat. Proses tersebut mengandung kegiatan yang diharapkan
dapat mengubah dan mengembangkan sikap, gaya hidup, pola berpikir serta
meningkatkan kesadaran masyarakat. Setidaknya ada kesamaan antara keduanya. Ia
sama-sama ingin mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat atau
sekelompok sasaran. Dan ia sama-sama meningkatkan kesadaran dari berperilaku
tidak baik, untuk berperilaku yang baik.
Di
samping ada kesamaan di atas, usaha dakwah bil hal mempunyai implikasi terhadap
pengembangan masyarakat, yaitu:
· Masyarakat
yang menjadi sasaran dakwah, pendapatannya bertambah untuk membiayai pendidikan
keluarga, atau memperbaiki kesehatan.
· Dapat
menarik partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sebab masyarakat terlibat
sejak perencanaan sampai pelaksanaan usaha dakwah bil hal.
· Dapat
menumbuhkan atau mengembangkan swadaya masyarakat dan dalam proses jangka
panjang bisa menumbuhkan kemandirian.
· Dapat
rnengembangkan kepemimpinan daerah setempat, dan terkelolanya sumber daya
manusia yang ada. Sebab anggota kelompok sasaran tidak saja jadi obyek
kegiatan, tetapi juga menjadi subyek kegiatan.
· Terjadinya
proses belajar-mengajar antara sesama warga yang terlibat dalam kegiatan. Sebab
kegiatan direncanakan dan dilakukan secara bersarna. Hal ini menimbulkan adanya
sumbang saran secara timbal balik.
Dakwah
dan Pemberdayaan Masyarakat
Dimensi
dakwah yang sering kali terabaikan oleh para dai dan ulama adalah persoalan
pengembangan masyarakat. Sekarang ini, umat Islam telah berjumlah lebih dari
satu miliar orang yang diharapkan akan terus meningkat. Banyak bagian dari
dunia Muslim yang tertinggal secara teknologi dan ekonomi.
Mereka
sangat menderita dalam memenuhi kebutuhannya setiap hari dan sangat gagap
terhadap perkembangan teknologi. Akibatnya, komunikasi ilmu pengetahuan dan
informasi agama Islam yang mestinya dengan mudah bisa diakses, karena kedua
kesulitan itulah, menjadikan mereka terus terbelakang dan terus mengalami
pembodohan.
Untuk
menanggulangi hal itu, tentu saja dibutuhkan kerja sama untuk mengentaskan
kemiskinan dan melakukan pemberdayaan terhadap mereka yang terbelakang. Hal itu
bisa berwujud dalam bentuk pendidikan keterampilan, pembukaan lapangan kerja,
penanggulangan pemakaian obat-obat terlarang, atau pelatihan teknologi tepat
guna.
Agenda
itu mesti segera dijalankan dengan kerja sama antara organisasi Islam dan
pemerintah atau lembaga lain. Sebab, pada dasarnya, tujuan dakwah adalah untuk
menyejahterakan umat manusia di muka bumi dan akhirat nanti. Bila keadaan
mereka terus merasa tertekan, kesusahan, dan mengalami pembodohan; bagaimana
mungkin ibadah yang menekankan pada ketenangan dan kekhusyukan dapat mereka
jalankan?
Hal
itulah yang seharusnya juga menjadi tantangan dalam dakwah Islam. Para dai atau
mubaligh hendaknya juga ada yang mendalami persoalan-persoalan yang terjadi di
masyarakat. Dalam analisis tentang perubahan-perubahan kemasyarakatan,
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adalah bentuk dakwah yang mesti
dilakukan. Berdasarkan sebuah hadis Nabi SAW dinyatakan, "Kefakiran dapat
membawa ke kekufuran."
Oleh
karena itu, untuk menghindari kekufuran, kemiskinan yang menimpa umat Islam
harus segera dikurangi jika tak bisa dilenyapkan. Maka dari itu, tema utama
dakwah ke lapisan bawah adalah dakwah bil hal, yaitu dakwah yang menekankan
perubahan dan perbaikan kondisi material lapisan masyarakat yang miskin. Dengan
perbaikan kondisi material itu, diharapkan dapat dicegah kecenderungan ke arah
kekufuran atau pindah agama karena mendapatkan godaan santunan ekonomi sehingga
iman mereka beralih.
Untuk
mewujudkan tatanan masyarakat seperti itu, sumber daya manusia yang melakukan
tugas dakwah Islam di era ini tentu saja harus juga memfokuskan dirinya pada
wilayah etis-emansipatoris. Terlebih lagi ketika kapitalisme dan globalisasi
yang sangat tidak mengindahkan kemanusiaan dan keadilan melaju tanpa henti.
Kesadaran kritis-emansipatoris sebagai manifestasi pembumian ayat-ayat Alquran
dan sunah Nabi SAW oleh para dai itu tidak harus diartikan sebagai gerakan
antikemapanan atau lembaga swadaya masyarakat.
Sebab,
kesadaran semacam ini dalam bingkai ilmu pengetahuan dianggap sebagai
perwujudan dari sinergi epistemologi dan aksiologi. Dengan pendekatan model
inilah, dakwah <I>billisan, bil qalam<I>, dan <I>bil
hal<I> bisa dijalankan dalam satu waktu.
Agenda
pemberdayaan
Agenda
pemberdayaan masyarakat juga sesuai dengan yang dimaksud oleh Allah SWT
sebagaimana tercantum dalam Alquran surah Ali-Imran ayat 110 yang berbunyi,
"Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk
menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan), dan beriman kepada
Allah."
Saya
memandang bahwa kontribusi nilai-nilai agama dalam dakwah ini adalah untuk
memperbaiki masyakarat, asalkan gerakan dakwah itu bukan sekadar disampaikan
tanpa dievaluasi. Contoh sekarang ini adalah kuliah Subuh di televisi yang
dilakukan pada pukul lima pagi. Yang bangun pukul lima itu hanya beberapa orang
yang sudah kuat agamanya. Kadang-kadang, yang memberi ceramah kuliah Subuh itu
sudah kita kenal semua. Mestinya, ceramah agama itu pada waktu-waktu luang.
Justru, waktu luang sekarang ini kebanyakan diisi cerita setan, cerita tuyul,
dan cerita-cerita yang tidak mendidik anak bangsa.
Berkenaan
dengan dakwah yang cenderung menimbulkan 'konflik', saya memandang perlu
diperhatikan beberapa hal. Pertama, pentingnya pendidikan. Kedua, pentingnya
menghilangkan kesenjangan. Dalam konteks Indonesia, barangkali itu adalah
pemerataan karena inilah yang membuat kegagalan pembangunan di era masa lalu.
Pada masa itu, di samping tradisi ekonomi kita yang lumayan, kebijakan-kebijakan
dalam bidang ekonomi itu banyak diselewengkan.
Dua
ratus 'anak haram' konglomerat dari pembangunan ekonomi bangsa adalah 'anak
haram' pembangunan ekonomi Orde Baru. Nah, karena itu, dalam pembangunan
sekarang ini, jangan sekali-kali kita diarahkan mencetak
konglomerat-konglomerat baru yang memaafkan konglomerat-konglomerat lama yang
telah berutang pada uang rakyat.
Seiring
dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang banyak
memengaruhi persepsi dan kebutuhan manusia, dakwah Islam memang harus melakukan
evaluasi diri, proyeksi, dan penyusunan strategi agar tetap aktual dan
kontekstual dengan kebutuhan masyarakat. Dan, dakwah bisa dijadikan sebuah
alternatif solusi terhadap berbagai problem dan tantangan kehidupan yang semakin
bertumpuk-tumpuk ini.
Dalam
meletakkan prioritas solusi alternatif itu, kita harus mengacu pada struktur
bangunan dakwah yang bagus berdasarkan analisis, berdasarkan terapi yang total.
Sehingga, kontradiksi umat Islam terbesar di dunia sekaligus umat yang terkorup
di dunia dapat kita kurangi, bahkan dihilangkan. Di samping itu, para mubaligh
kita harus senantiasa memperbarui isi dan penampilan dakwahnya. Jalan yang bisa
dilakukan paling tidak adalah dengan melakukan iqra`, banyak membaca. Kedua,
para mubaligh seharusnya juga senantiasa mengasah pikiran sebagaimana disindir
oleh Allah dalam Alquran.
Dengan
begitu, kita harus senantiasa menggunakan pikiran dan analisis dalam struktur
dakwah yang kita sajikan kepada masyarakat. Analisis harus kita utamakan dulu
sebelum mengambil kesimpulan-kesimpulan umum yang akan kita perhatikan. Dan,
yang lebih penting lagi adalah para mubaligh mencari tahu apa sebenarnya
masalah utama masyarakat kita. Itu yang menjadikan prioritas pengobatan pertama
kita. Kalau kita mendapati pasien sakit liver dan sakit panu, livernya dulu
kita obati. Jangan panunya dulu yang diobati. Sebab, panu itu tidak akan
membunuh orang. Begitu juga dengan persoalan-persoalan yang terjadi di
masyarakat.
Oleh
karena itu, di samping ayat-ayat tentang moralitas dalam kehidupan sehari-hari
dengan sesama manusia, Alquran juga menekankan prinsip keadilan. Dalam prinsip
keadilan ini, setiap manusia dituntut untuk berlaku adil, baik kepada dirinya
sendiri maupun orang lain. Maka, masyarakat dan komunitas Muslim yang terbuka
serta yang bisa saling melakukan amar ma'ruf nahi munkar dan introspeksi adalah
masyarakat ideal yang dicita-citakan oleh Islam. Kita harus menilai secara
sangat positif bahwa dakwah harus memberikan sumbangan untuk nilai-nilai kemanusiaan.
Sebab, di samping sasaran dakwah itu adalah akhlak manusia, juga harus
memerhatikan persoalan kemanusiaan.
Judul
: Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi
Pengantar
: Prof. Soetandyo Wingnyosoebroto, MPA
Editor
: Moh. Ali Aziz, Rr. Suhartini, A. Halim
Penerbit
: Pustaka Pesantren
Cetakan
: I/2005
Tebal
: 420 halaman
Pengembangan
masyarakat merupakan sebuah wacana dalam ilmu sosial, khususnya dalam studi
pembangunan yang menempati arti tersendiri. Hal ini didasarkan pada debat
kontemporer mengenai proses pembangunan sejak dipertanyakan perspektif
modernisasi dalam pembangunan yang sarat akan bias perkembangan negara “maju”.
Pengembangan masyarakat menjadi semacam spirit atas sebuah pardigma pembangunan
yang tidak lagi delivered yang mana direncanakan oleh “atas” atau bahkan
mengikuti pola “Barat”, tetapi sebagai sebuah pembangunan yang berwarna people
centered. Dengan berkembangnya gagasan-gagasan dalam teori dependensia yang
ingin secara lebih mandiri dan kontekstual melakukan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Lebih dari itu, perinsip bottom up menjadi sebuah kata yang
menjanjikan atas dasar kegagalan berbagai negara dalam menyejahterakan
rakyatnya.
Dalam
buku ini ditulis sebuah pemetaan atas berbagi konsepsi dasar pengembangan
masyarakat. Selain itu, buku ini mencoba menganalisis sejauh mana relevansinya
dengan upaya dakwah dalam pemahaman mengenai dakwah sebagai upaya
menggaktualisasikan nilai-nilai Islam tidak sekedar dipahami sebagai cara-cara
penyampaian ajaran Islam secara verbal yang wujudnya hanya tabligh saja,
melainkan dipahami sebagai wujud penerapan Islam sebagai agama yang rahmatan
lil ‘alamin.
Konsepsi
akan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam perspektif agama masih
relevan dalam konteks pengembangan masyarakat dengan beberapa asumsi sebagai
berikut.
Pertama,
Pengembangan masyarakat pada dasarnya merencanakan dan menyiapkan suatu
perubahan sosial bagi peningkatan kualitas kehidupan manusia.dengan meletakkan
sebuah tatanan sosial yang menempatkan manusia secara adil dan terbuka dalam
melakukan usaha sebagai perwujudan atas kemampuan dan potensi yang dimiliki
sehingga kebutuhan (material dan spiritual) dapat terpenuhi.
Kedua,
pengembangan masyarakat bukan suatu proses pemberian dari pihak yang memiliki
sesuatu kepada pihak yang tidak memiliki. Kerangka pemahaman ini akan
menjerumuskan kepada usaha-usaha yang sekedar memberikan kesenangan sesaat dan
bersifat tambal sulam.
Ketiga,
pengembangan masyarakat merupakan proses pembelajaran kepada masyarakat agar
dapat melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas kehidupan mereka secara mandiri.
Pengembangan masyarakat sesungguhnya merupakan sebuah proses kolektif dimana
kehidupan berkeluarga, bertetangga, dan bernegara tidak sekedar menyiapkan
berbagai penyesuaian terhadap perubahan sosial yng dilalui, tetapi secara aktif
mengarahkan perubahan tersebut pada terpenuhinya kebutuhan bersama.
Keempat,
pengembangan masyarakat mustahil dilaksanakan tanpa ada keterlibatan secara
penuh dari masyarakat itu sendiri. Partisipasi bukan hanya sekedar kehadiran
masyarakat dalam sebuah kegiatan, melainkan kontribusi masyarakat dalam setiap
tahapan yang mesti dilalui oleh suatu program kerja pengembangan masyarakat,
terutama dalam tahap perumusan kebutuhan masyarakat yang harus terpenuhi.
Asumsinya, masyarakatlah yang paling tahu kebutuhan dan permasalahan yang
mereka hadapi.
Kelima,
pengembangan masyarakat selalu ditandai dengan pemberdayaan masyarakat (people
empowerment). Tidak akan ada suatu keterlibatan masyarakat dalam suatu
program pengembangan bila masyarakat itu sendiri tidak memiliki kemampuan yang
cukup. Oleh karena itu, suatu mekanisme dan sistem pemberdayaan masyarakat
sangat diperlukan. Masyarakat diberi pengertian bahwa tanpa adanya keterlibatan
mereka secara penuh, tidak akan ada perbaikan kualitas kehidupan.
Secara
umum, ada empat strategi pengembangan masyarakat, yaitu:
1.
The
Growth Strategy, yaitu pengembangan pada pertumbuhan
ekonomi melalui peningkatan per kapita penduduk, produktifitas, pertanian,
permodalan, dan kesempatan kerja yang disertai dengan kemampuan konsumsi
masyarakat.
2.
The
Welfare Strategy, yaitu strategi untuk memperbaiki dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3.
The
Responsitive Strategy, yaitu reaksi terhadap strategi
kesejahteraan yang dimaksudkan untuk menanggapi kebutuhan yang dirumuskan
masyakat sendiri dengan bantuan pihak luar (self need and assistance).
4.
The
Integrated or Holistic strategy, yaitu strategi yang
secara sistematis mengintegrasikan seluruh komponen dan unsur yang diperlukan
untuk mencapai tujuan yang menyangkut kelangsungan pertumbuhan, persamaan,
kesejahteraan, dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan secara
simultan.
Selanjutnya, dalam buku ini dijelaskan mengenai perbandingan antara dakwah
pengembangan masyarakat dan dakwah konvensional yang selama ini dikenal dan
dianut oleh para pelaku dakwah. Berikut tabel dikotomi perbandingan antara
dakwah model pengembangan masyarakat Islam dan dakwah konvensional.
No
|
Unsur-Unsur
Dakwah
|
Model Dakwah
Pengembangan Masyarakat
|
Model Dakwah
Konvensional
|
1
|
Subjek
dakwah
|
Dai,
muballigh dan masyarakat
|
Dai,
mubaligh, dan ustadz
|
2
|
Objek
dakwah
|
Kondisi
sosio-kultural masyarakat
|
Masyarakat
|
3
|
Sifat
dai
|
Fasilitator
dan transformer nilai agama
|
Komunikator
agama
|
4
|
Sifat
objek dai
|
Aktif
partisipatif dan sustainable
|
Statis,
top-down, one way, dan sustainable
|
5
|
Metode
dakwah
|
Dialog
dan interaksi sosial (mujadalah)
|
Lebih
banyak hikmah dan mau’idhah hasanah
|
6
|
Materi
dakwah
|
Dibicarakan
bersama sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat (bottom-up)
|
Lebih
banyak ditentukan oleh dai (pelaku dakwah/top-down)
|
7
|
Bentuk
dakwah
|
Advokasi
dan pemihakan kepada yang lemah (dakwah bil hal)
|
Lebih
banyak bentuk syiar agama
|
8
|
Strategi
dakwah
|
Integrated
or Holistic strategy
|
Partial
strategy
|
9
|
Manajemen
dakwah
|
Efektif,
karena sejak awal menerapkan prinsip manajemen (planning, organizing,
actuating, dan controlling)
|
Kurang
efektif, karena tidak sepenuhnya menerapkan prinsip manajemen
|
10
|
Media
dakwah
|
Disesuaikan
dengan kondisi masyarakat
|
One
way media seperti TV dan radio
|
11
|
Target
dakwah
|
Masyarakat
mengetahui, merumuskan, dan memecahkan problema sendiri
|
Tidak
jelas
|
Paradigma dakwah pengembangan masyarakat merupakan suatu gerakan transformasi
sebagai gerakan kultural yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi, dan
transendensi yang profetik. Dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan,
bukan pengarahan apalagi pemaksaan.
Dengan demikian, dakwah pengembangan masyarakat ini akan membawa perubahan
sejarah kehidupan masyarakat oleh masyaraktnya sendiri secara partisipatif,
terbuka, dan emansipatoris.
0 Response to "makalah Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat"
Posting Komentar